Soal Kasus Ronald Tannur dan Dini Sera, Kiminolog UI: Ini Bukan Kasus Biasa

Photo Author
- Jumat, 2 Agustus 2024 | 13:24 WIB
Kolase foto Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik dan pelaku penganiayaan Ronald Tannur. (PN Surabaya)
Kolase foto Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik dan pelaku penganiayaan Ronald Tannur. (PN Surabaya)
 
PITUTUR.id - Kasus pembunuhan yang menimpa Dini Sera Afrianti oleh Gregorius Ronald Tannur tengah menjadi sorotan publik. Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Mamik Sri Supatmi, menegaskan bahwa tindakan ini bukan kasus biasa melainkan adalah bentuk femisida.
 
Pernyataan ini muncul dalam diskusi "Quo Vadis Negara Hukum: Perempuan Berbicara" yang diadakan di Jakarta, Rabu lalu.  
 
Mamik menjelaskan bahwa femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian berbasis gender.
 
"Dalam kasus Dini, jelas ada elemen penyiksaan yang berakhir pada kematian, dan ini layak disebut femisida," tegasnya.
 
 
Ia menambahkan bahwa dimensi misogini ini tidak bisa diabaikan dan harus diakui dalam penegakan hukum.
 
Lebih lanjut, Mamik menjelaskan bahwa femisida mencakup pembunuhan yang didorong oleh kebencian terhadap perempuan dalam berbagai status, termasuk istri, kekasih, atau bahkan pekerja seks komersial (PSK).
 
"Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan yang didorong oleh prasangka dan kebencian mendalam dari pelaku," tambahnya.
 
Di sisi lain, keputusan mengejutkan datang dari Pengadilan Negeri Surabaya, yang membebaskan Ronald Tannur dari segala dakwaan.
 
 
Ronald, yang merupakan putra mantan anggota DPR RI Edward Tannur, didakwa atas penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini. Keputusan ini menuai kontroversi dan kritik luas dari berbagai kalangan.  
 
Penyelidikan polisi mengungkap bahwa penganiayaan terjadi setelah pasangan tersebut menghabiskan malam di tempat hiburan di Surabaya Barat.
 
Ronald awalnya didakwa dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, namun akhirnya hanya dijerat dengan Pasal 351 dan 359 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian, yang ancamannya maksimal 12 tahun penjara.
 
Akibat kasus ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara resmi menonaktifkan Edward Tannur dari keanggotaannya di Komisi IV DPR RI.
 
Keputusan ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Langkah ini diharapkan dapat menjadi cerminan bahwa partai politik tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk femisida.***
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Dinda Silviana Dewi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X