Ramai Diperbincangkan di Medsos Peristiwa Carok di Bangkalan, Persoalan Ego Nyawa pun Harus Menjadi Korban

Photo Author
- Minggu, 14 Januari 2024 | 20:39 WIB
Carok yang terjadi di Bangkalan, persoalan ego nyawa menjadi korban (Tangkapan layar )
Carok yang terjadi di Bangkalan, persoalan ego nyawa menjadi korban (Tangkapan layar )

Menurut Dr. Muryanti, MA, dosen sosiologi hukum dan kriminal di UIN Sunan Kalijaga, carok adalah fenomena kekerasan budaya yang berkaitan dengan konsep kehormatan, harga diri, dan keadilan dalam masyarakat Madura.

Carok merupakan cara untuk menyelesaikan konflik yang tidak bisa diselesaikan secara damai atau melalui proses hukum formal.

Baca Juga: Rexona Produk Pro Israel, Cek Deodorant Lokal yang Tak Kalah Bagikan Diskon: Lebih Murah dan Jelas Kualitasnya!

Pasalnya, dalam kajiannya Carok adalah bentuk kekerasan budaya yang sudah ada sejak abad 18, dan masih bertahan hingga sekarang.

“Carok dilakukan sebagai cara untuk mempertahankan kehormatan, harga diri, dan keadilan yang dirasa terganggu oleh pihak lain. Carok juga menjadi simbol keberanian, kejantanan, dan kekuatan bagi orang Madura,” ujar Muryanti.

Muryanti menjelaskan bahwa carok tidak hanya terjadi karena motif sepele, tetapi juga karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan agama yang mempengaruhi perilaku masyarakat Madura.

Baca Juga: Diet Sehat Lebih Menyenangkan dengan Promo Terbaru dari Nutrimart di Awal Tahun 2024, Diskon 40 Persen

Misalnya, kemiskinan, ketimpangan, persaingan, ketidakpercayaan, dan fanatisme.

Dari hal ini cukup jelas carok yang terjadi di kecamatan Tanjung Bumi, dipengaruhi oleh faktor yang telah disebutkan oleh praktisi diatas. 

"Misalnya, kemiskinan yang menyebabkan orang Madura merasa tidak punya pilihan selain menggunakan kekerasan untuk mendapatkan haknya. Ketimpangan yang menimbulkan rasa iri, dengki, dan benci antara kelompok-kelompok sosial," ungkap dia.

Baca Juga: 5 Langkah Mudah Mengunduh Video Shopee Terbaru 2024: Tanpa Aplikasi Tambahan, Tanpa Watermark Lewat HP

Selanjutnya, persaingan yang menuntut orang Madura untuk bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, atau pengaruh.

Ketidakpercayaan yang membuat orang Madura tidak mau mengandalkan hukum formal yang dianggap tidak adil, tidak efektif, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal.

Sedangkan fanatisme yang membuat orang Madura tidak mau menghormati perbedaan agama, suku, atau golongan yang dianggap sebagai musuh atau ancaman.

Baca Juga: Perang Ketiak: Duel Sengit Deodoran Antara Produk Rexona dan Nivea Untuk Wanita, Teknologi vs Kelembutan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muchlis Pitutur

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X