PITUTUR.id - Pilpres 2024 semakin dekat. Para bakal calon presiden (bacapres) pun semakin gencar menunjukkan eksistensinya. Mereka berlomba-lomba mengumbar janji-janji manis, menggaet partai-partai pendukung, dan menggelar deklarasi-deklarasi megah.
Namun, apakah mereka semua benar-benar layak menjadi capres? Apakah mereka memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk memimpin negeri ini? Ataukah mereka hanya sekadar bacapres rasa capres, yang hanya mengandalkan identitas dan popularitas semata?
Mari kita baca fenomena bacapres rasa capres di Pilpres 2024, dari identitas ke kualitas.
Baca Juga: Prabowo Subianto: Misi Kekalahan Berulang dalam Pilpres Indonesia
Identitas
Identitas adalah hal yang penting dalam politik. Identitas bisa berupa agama, suku, daerah, profesi, atau hal-hal lain yang bisa membuat seseorang merasa terhubung dengan calon pemimpinnya. Identitas juga bisa menjadi alat untuk membedakan diri dari pesaing-pesaingnya. Identitas bisa menjadi modal untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat.
Namun, identitas juga bisa menjadi bumerang. Identitas bisa menjadi sumber konflik dan perpecahan. Identitas bisa menjadi alasan untuk menolak dan mendiskriminasi orang lain yang berbeda. Identitas bisa menjadi batu sandungan untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Para bacapres rasa capres tentu sadar akan hal ini. Maka, mereka pun berusaha memainkan kartu identitas sebaik mungkin. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka adalah wakil dari kelompok-kelompok tertentu, yang merasa terpinggirkan atau terancam oleh kelompok-kelompok lain.
Mereka ingin menampilkan diri sebagai pahlawan yang akan membela hak-hak dan kepentingan dari kelompok-kelompok tersebut.
Contohnya adalah Anies Baswedan, yang dideklarasikan sebagai bacapres oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang terdiri dari Partai Nasdem, PKB, dan PKS. Anies ingin membangun citra sebagai pemimpin yang peduli dengan kaum minoritas, seperti etnis Tionghoa, Papua, dan LGBT.
Anies juga ingin menarik suara dari kalangan Islam konservatif, dengan menggandeng Cak Imin sebagai cawapresnya. Anies berharap bahwa dengan menggabungkan dua identitas yang kontras ini, ia bisa mendapatkan dukungan dari kedua kubu tersebut.
Namun, strategi Anies ini ternyata tidak berjalan mulus. Ia malah mendapat kritik dan penolakan dari banyak pihak. Kaum minoritas merasa tidak percaya dengan Anies, yang dianggap hanya memanfaatkan mereka sebagai alat politik.
Kaum Islam konservatif juga meragukan komitmen Anies terhadap nilai-nilai Islam, apalagi setelah ia berfoto bersama dengan tokoh-tokoh LGBT². Bahkan, Partai Demokrat pun memutuskan untuk keluar dari koalisi KPP, karena merasa tidak sejalan dengan visi-misi Anies.
Contoh lain adalah Prabowo Subianto, yang didukung oleh Partai Gerindra dan Gelora sebagai bacapres 2024. Prabowo ingin mempertahankan citra sebagai pemimpin yang nasionalis, militan, dan anti-aseng.
Prabowo juga ingin menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang berpengalaman dan berwibawa dalam bidang pertahanan dan keamanan. Prabowo berharap bahwa dengan mengusung identitas ini, ia bisa mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis dan militer.
Artikel Terkait
Prabowo Subianto: Misi Kekalahan Berulang dalam Pilpres Indonesia
Duet Ganjar-Anies di Pilpres 2024? Ini Kata PDIP dan PKS
Anies Baswedan Tak Khawatir Kalah Pilpres, Ini Aktivitasnya Jika Gagal Jadi Presiden
Duet Ganjar-Anies, Apakah Bisa Menaklukkan Prabowo Subianto di Pilpres 2024?
Lowongan Kerja Menjadi Cawapres Pilpres 2024, Gaji Rp 20 Juta, Tunjangan Rp 22 Juta
Anies Temui SBY di Cikeas, Dapat Catatan Penting Strategi Kemenangan Pilpres 2024
Jawa Barat Belum Punya KDEKS, Ma'ruf Amin Sindir Ridwan Kamil Sibuk Maju Pilpres
Profil dan Kekayaan Cak Imin, Bakal Calon Wakil Presiden Anies Baswedan dalam Pilpres 2024
Ambisi Cak Imin untuk Jadi Capres dan Cawapres: Ini Rekam Jejak dan Peluangnya di Pilpres 2024
NU dan Pilpres 2024: Antara Menjadi Penentu atau Terpecah Belah?