PITUTUR.id - Indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. Namun, kenyataannya Indonesia masih bergantung pada impor beras dari negara-negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan India.
Padahal, di Indonesia sendiri ada desa yang mampu menciptakan ketahanan pangan yang luar biasa tanpa perlu membeli atau menjual beras. Desa itu adalah Desa Cipta Gelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Desa Cipta Gelar adalah desa adat yang masih memegang teguh tradisi leluhur sebagai orang Sunda. Masyarakat desa ini mengelola lahan pertanian secara mandiri dan berkelanjutan dengan menggunakan bibit padi lokal yang tahan terhadap cuaca dingin dan lembab.
Baca Juga: Desa Cipta Gelar, Melawan Food Estate dengan Pertanian Berbasis Warisan Leluhur
Mereka juga tidak pernah menggunakan pupuk kimia atau pestisida, melainkan hanya mengandalkan kompos dan bahan alami lainnya. Hasil panen mereka disimpan di lumbung padi yang disebut leuit, yang bisa menampung hingga 1.000 ton beras. Lumbung padi ini diperkirakan bisa menjadi cadangan pangan hingga puluhan tahun ke depan.
Masyarakat Desa Cipta Gelar juga memiliki aturan khusus tentang beras. Mereka tidak boleh menjual beras hasil panen mereka ke luar desa, karena beras dianggap sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dan dibagikan kepada sesama.
Mereka juga tidak boleh membeli beras dari luar desa, karena beras dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dihormati dan dikonsumsi secara bijak. Dengan demikian, mereka bisa menjaga keseimbangan antara produksi dan konsumsi beras di desa mereka.
Sistem pertanian Desa Cipta Gelar ini tentu sangat berbeda dengan sistem pertanian yang dianut oleh pemerintah Indonesia melalui program food estate. Program food estate adalah program pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan memanfaatkan lahan-lahan eks gambut di Kalimantan dan Papua.
Baca Juga: Food Estate, Program Jokowi untuk Antisipasi Krisis Pangan yang Menuai Kritik
Namun, program food estate ini menuai banyak kritik dan kontroversi dari berbagai pihak. Beberapa kritik yang muncul bahwa program food estate tidak memperhatikan aspek lingkungan, karena mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian akan menyebabkan kerusakan ekosistem, emisi gas rumah kaca, dan kebakaran hutan.
Selain itu program food estate tidak memperhatikan aspek sosial, karena mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal yang tinggal di sekitar lahan gambut, serta tidak melibatkan mereka dalam proses pengelolaan lahan.
Tak luput dari kritik, program food estate tidak memperhatikan aspek ekonomi, karena mengandalkan bibit padi impor yang mahal dan rentan terhadap hama dan penyakit, serta tidak menjamin ketersediaan pasar dan harga jual bagi petani.
Baca Juga: Diklaim Jadi Solusi Antisipasi Krisis Pangan Tanah Air, Kepada Siapa Program Food Estate Berpihak?
Artikel Terkait
Garuda Food Buka Lowongan Pekerjaan, Cek Kualifikasinya disini
Soal Polemik Program Food Estate, Jokowi ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto: Tak Semudah yang Dibayangkan
Mengenal Program Food Estate Jokowi: Dikritik PDIP, Dibela Gerindra
Diklaim Jadi Solusi Antisipasi Krisis Pangan Tanah Air, Kepada Siapa Program Food Estate Berpihak?
Food Estate, Program Jokowi untuk Antisipasi Krisis Pangan yang Menuai Kritik
Desa Cipta Gelar, Melawan Food Estate dengan Pertanian Berbasis Warisan Leluhur