Fonemena ini memantik Pakar Transportasi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Machsus angkat bicara.
Dirinya menilai, tingkat kemacetan dan waktu terbuang saat jam sibuk di Surabaya lebih rendah dibandingkan kota-kota seperti Bandung atau Jakarta.
Baca Juga: Siap Pimpin Jatim Lagi, Khofifah-Emil Bakal Dilantik 20 Februari 2025
Namun, persebaran kemacetan di Surabaya itu merata. Terjadi di berbagai titik. Hal itulah yang membuat kemacetan di Surabaya tetap tinggi.
Kendati di Jakarta memiliki jumlah kendaraan lebih banyak, sistem transportasi publiknya seperti MRT, LRT, dan TransJakarta, berhasil mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi.
”Di Surabaya, transportasi umum seperti Suroboyo Bus, Trans Jatim, dan Wirawiri Suroboyo masih belum memadai, sehingga penggunaan kendaraan pribadi tetap dominan,” ujar Machsus.
Hal ini diperparah dengan minimnya alokasi APBD untuk transportasi umum. Kurang dari 5% pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk angkutan umum.
”Tanpa investasi yang mampu, layanan angkutan umum sulit berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Surabaya Tundjung Iswandaru pernah menyebut rasio kecepatan/kapasitas (V/C) jalan di Surabaya rata-rata 0,6. Artinya, jalan-jalan masih mampu menampung kendaraan dan bergerak.
Baca Juga: Menpar Optimistis Capaian Kinerja Pariwisata 2024 Lampaui Realisasi Tahun Sebelumnya
Namun, Dosen Transportasi pada Prodi S2 Terapan, Teknik Infrastruktur Sipil menjelaskan, V/C rasio hanya mengukur rasio antara volume kendaraan dan kapasitas jalan. Sementara data TomTom Traffic Index mengukur waktu tempuh kendaraan yang bergerak.
”Meskipun secara kapasitas jalan di Surabaya masih memadai, hambatan samping seperti parkir liar, penyeberang jalan, dan manajemen lalu lintas yang belum optimal menyebabkan waktu perjalanan jadi lebih lama,” jelasnya.
Menurutnya, alokasi anggaran untuk transportasi umum di Surabaya selalu mendapat persaingan. Terutama dengan sektor pembangunan lain yang lebih populis.