PITUTUR.id - Lembaga keuangan internasional, International Monetary Fund (IMF), meminta maaf atas kritiknya terhadap kebijakan hilirisasi nikel yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Kritik tersebut disampaikan dalam dokumen "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia" yang dirilis pada 25 Juni 2023.
Dalam dokumen tersebut, IMF menilai bahwa kebijakan hilirisasi nikel harus didasarkan pada analisis biaya dan manfaat lebih lanjut, serta mempertimbangkan dampak lintas batas.
Baca Juga: Penduduk Jawa telah Bentuk Budaya Gotong Royong di Suriname Sejak Gelombang Migrasi di Tahun 1890
IMF juga menyarankan Indonesia untuk menghapus larangan ekspor nikel secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.
Kritik IMF tersebut menuai reaksi keras dari pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia.
Ia menegaskan, hilirisasi nikel adalah kebijakan strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat.
Ia juga menantang IMF untuk mengurus negara-negara yang bermasalah, bukan Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, mengirimkan surat permintaan maaf kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Agustus 2023.
Dalam suratnya, ia mengakui bahwa kritik IMF terhadap hilirisasi nikel tidak mempertimbangkan konteks dan tujuan kebijakan tersebut.
Baca Juga: 4 Arahan Jokowi Kurangi Polusi Udara di Jakarta, Nomor 2 Pernah diterapkan
Ia juga mengapresiasi upaya Indonesia untuk mengembangkan industri nikel yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
"Kami menyadari bahwa hilirisasi nikel adalah bagian dari visi Indonesia untuk menjadi pemain global dalam industri baterai kendaraan listrik, yang merupakan sektor strategis bagi masa depan ekonomi hijau. Kami juga menghormati hak setiap negara untuk menentukan kebijakan ekonominya sendiri sesuai dengan kepentingan nasionalnya," tulis Georgieva.
Artikel Terkait
Penduduk Jawa telah Bentuk Budaya Gotong Royong di Suriname Sejak Gelombang Migrasi di Tahun 1890