- Desa Kepatihan Balong adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Desa ini memiliki keunikan yang jarang ditemukan di tempat lain, yaitu banyaknya warga yang mengalami gangguan mental atau berkebutuhan khusus (difabel).
Bahkan, desa ini pernah dijuluki sebagai kampung idiot karena para penghuninya banyak yang mengalami gangguan mental maupun berkebutuhan khusus.
Baca Juga: Kurangi Polusi Udara, Startup Perikanan FishLog Terapkan WFA Permanen
Namun, jangan salah sangka, desa ini bukanlah desa yang terbelakang atau terisolasi.
Justru sebaliknya, desa ini telah berhasil bertransformasi menjadi desa wisata yang ramah dan kreatif.
Sejarah Desa Difabel
Desa Kepatihan Balong memiliki sejarah yang panjang dan penuh perjuangan.
Menurut warga setempat, desa ini telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Nama desa ini berasal dari kata "karang patihan", yang berarti batu tempat para patih (pejabat tinggi kerajaan) beristirahat saat melakukan perjalanan.
Pada tahun 1960-an, desa ini mengalami krisis pangan akibat gagal panen besar-besaran. Lokasi desa ini dikenal sangat kering dan tanahnya tidak subur untuk pertanian.
Baca Juga: Shopee Buka Lowongan Kerja Penempatan Seluruh Indonesia, Cek Kualifikasinya
Karena kekurangan makanan dan gizi, banyak warga yang terlahir "berbeda". Mereka mengalami gangguan mental atau fisik yang membuat mereka sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Warga yang normal pun merasa malu dan minder dengan kondisi desa mereka.
Desa ini pun menjadi desa difabel, yaitu desa yang dihuni oleh banyak orang dengan tingkat disabilitas yang berbeda-beda, dari yang ringan hingga berat.
Baca Juga: Alasan Motor Listrik Dilarang Menerjang Air Lebih dari Setengah Roda
Warga difabel ini hidup terpisah dari masyarakat luas dan hanya bergantung pada keluarga atau kerabat mereka.
Mereka tidak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, atau pelayanan kesehatan yang layak.
Mereka juga sering mendapat perlakuan diskriminatif atau kasar dari orang luar.
Transformasi Desa Difabel
Perubahan besar terjadi pada tahun 2000-an, ketika pemerintah daerah mulai memperhatikan desa ini. Pemerintah daerah dan warga bekerja sama untuk memberdayakan warga difabel agar bisa lebih aktif dan produktif.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah membuat sebuah sanggar untuk menampung warga difabel yang bisa dilatih.
Di sanggar ini, warga difabel mendapatkan pelatihan dalam bidang seni, kerajinan, pertanian, atau peternakan sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.
Baca Juga: 10 Kuliner Terhits di Ibu Kota yang Wajib Dicoba
Mereka juga mendapatkan bimbingan psikologis dan sosial untuk meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan komunikasi mereka.
Selain itu, mereka juga diajarkan tentang hak-hak mereka sebagai warga negara dan manusia.
Hasil dari pelatihan ini adalah produk-produk unik dan berkualitas yang dibuat oleh warga difabel.
Baca Juga: Daftar Wakil Bupati Terkaya di Madura, Ini Rincian Kekayaannya
Produk-produk ini antara lain adalah lukisan, patung, keramik, anyaman, batik, tas, dompet, boneka, perhiasan, sabun, sambal, keripik, susu kambing, telur ayam, dan lain-lain.
Produk-produk ini kemudian dipasarkan ke masyarakat luas melalui pameran, bazar, atau media sosial.
Desa Wisata Ramah dan Kreatif
Produk-produk warga difabel tidak hanya memberikan penghasilan bagi mereka, tetapi juga menarik perhatian banyak orang untuk berkunjung ke desa ini.
Desa ini pun mulai berkembang menjadi desa wisata yang menawarkan berbagai daya tarik bagi para wisatawan.
Salah satu daya tarik utama adalah kesempatan untuk melihat langsung proses pembuatan produk-produk warga difabel di sanggar.
Baca Juga: 3 momen Hwang Min Hyun konser solo perdana di Jakarta
Para wisatawan bisa belajar dan berinteraksi dengan warga difabel yang ramah dan kreatif. Mereka juga bisa membeli produk-produk tersebut sebagai oleh-oleh atau souvenir.
Selain itu, desa ini juga memiliki daya tarik lain, seperti keindahan alam, kekayaan budaya, dan keramahan masyarakat.
Para wisatawan bisa menikmati pemandangan sawah, gunung, dan sungai yang asri dan segar. Mereka juga bisa mengenal tradisi dan adat istiadat desa, seperti upacara adat, kesenian, dan kuliner khas.
Baca Juga: HUT RI, 17 Wanita Kibarkan Merah Putih di Puncak Gunung
Mereka juga bisa merasakan kehangatan dan keramahan warga desa yang siap menyambut mereka dengan senyum dan sapaan.
Desa Kepatihan Balong adalah contoh nyata dari sebuah desa difabel yang berubah menjadi desa wisata. Desa ini membuktikan bahwa warga difabel bukanlah beban atau aib bagi masyarakat, tetapi justru menjadi aset dan kebanggaan.
Desa ini juga menunjukkan bahwa dengan semangat, kerjasama, dan kreativitas, sebuah desa bisa bertransformasi menjadi desa yang maju dan mandiri.***
Artikel Terkait
5 Tempat Wisata Gratis di Bandung, Cocok untuk Liburan Akhir Pekan
5 Tempat Wisata Malam di Jogja, Nomor 5 Jangan Sampai Terlewat!
Promo HUT ke-78 RI, Penumpang Kereta Api Cukup Bayar Rp 78.000 Sudah Bisa Naik KA Eksekutif, Begini Caranya!
Promo HUT ke-78 RI, Taman Safari Beri Diskon untuk Pengunjung Bernama 'Agus'
HUT RI, 17 Wanita Kibarkan Merah Putih di Puncak Gunung